Bagaimana Kewenangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Dalam Pembatalan Peraturan Daerah?

Posted by baharcool89 | Posted on 23.07

0


Muncul perdebatan bahwa apakah Menteri Dalam Negeri berwenang melakukan pengujian (executive review) terhadap suatu Peraturan Daerah atau tidak. Namun sebelum membahasnya, terlebih dahulu perlulah di bedakan antara executive review dan executive preview.  
Executive review adalah pengujian yang dilakukan pemerintah eksekutif terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku. Dalam hal pengawasannya, executive review biasa juga di sebut sebagai pengawasan represif. Sedangkan, executive preview adalah pengujian yang dilakukan oleh pemerintah eksekutif terhadap rancangan peraturan perundang-undangan. Jadi, dalam hal executive preview, yang menjadi bahan pengujian adalah rancangan peraturan perundang-undangan yang belum diberlakukan atau belum di undangkan. Executive preview ini biasa juga di sebut sebagai pengawasan preventif.
Selama ini pada prakteknya, kabanyakan Peraturan Daerah yang telah di uji oleh Pemerintah c.q. Departemen Dalam Negeri, ketetapan pembatalannya dilakukan dengan instrumen Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri). Dengan mengacu pada instrumen hukum tentang pengujian dan pembatalan suatu Perda yang dilakukan oleh pemerintah (executive review), maka Pasal 145 Ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan tegas menyatakan bahwa keputusan pembatalan Perda di tetapkan dengan Peraturan Presiden. Jika mengacu pada instrument hukum tersebut, maka sebenarnya tidak ada kewenangan atributif Mendagri mengeluarkan suatu keputusan untuk menetapkan pembatalan perda, melainkan secara tegas yang berwenang membatalkan suatu perda ialah Presiden dengan Peraturan Presidennya. Jika Presiden mendelegasikan kewenangannya kepada Mendagri untuk membatalkan suatu Perda, maka Presiden sebenarnya telah menyalahi kewenangan atributifnya yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 145 Ayat (3) UU a quo. Adapun kewenangan Mendagri mengeluarkan keputusan pembatalan suatu Perda, dikarenakan Pemeritah Daerah tidak menindak lanjuti hasil evaluasi dari Pemerintah dalam rangka pengawasan preventif dan tetap memberlakukan Perda dimaksud, sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 185 Ayat (5) UU Pemerintahan Daerah. Disinilah sebenarnya letak kewenangan atributif Mendagri dalam melakukan pembatalan suatu Perda dan pengujian Rancangan Perda (executive preview) atau biasa juga di sebut pengawasan preventif. Namun, kewenangan Mendagri tersebut dalam hal pengawasan preventif secara langsung hanya terbatas pada tingkatan provinsi semata, dan selanjutnya pada tingkatan kabupaten/kota, pengawasan preventif Mendagri bersifat tidak langsung, karena yang menjalankan secara langsung adalah Gubernur. Hal ini dapat terlihat pada Pasal 185 dan Pasal 186 UU a quo. Dalam Pasal 185 dinyatakan bahwa, rancangan Perda provinsi tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD setelah hasil dari evaluasi Menteri Dalam Negeri yang menyatakan bahwa rancangan perda dan rancangan pergub tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Gubernur Bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama tujuh hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak di tindak lanjuti, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan perda dan rancangan Pergub tersebut, maka Menteri Dalam Negeri membatalkan perda dan pergub dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun lalu. Dari sini terlihat jelas bahwa Menteri dalam Negeri melakukan pengawasan preventif terhadap rancangan perda provinsi (pengawasan secara langsung).
Sedangkan dalam Pasal 186 dinyatakan bahwa rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD setelah hasil dari evaluasi Gubernur yang menyatakan bahwa rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan bupati/walikota tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Bupati/Walikota Bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama tujuh hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak di tindak lanjuti, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan perda dan rancangan Peraturan bupati/walikota, maka Gubernur membatalkan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun lalu. Selanjutnya, Pasal 186 Ayat (6) beserta penjelasannya dinyatakan bahwa Gubernur menyampaikan hasil evaluasi rancangan perda kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD kepada Menteri dalam negeri yang untuk selanjutnya di tindak lanjuti. Akan tetapi, tidak ada petunjuk jelas mengenai proses penindaklanjutan hasil evaluasi Gubernur yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri sehingga tampak samar bagaimana metode pengawasan yang dilakukan oleh Mendagri terhadap rancangan Perda kabupaten/kota. Dari penjelasan Pasal 186 Ayat (6) tersebut, terlihat jelas bahwa yang melakukan pengawasan preventif secara langsung adalah Gubernur, sementara Menteri Dalam Negeri hanya melakukan pengawasan preventif secara tidak langsung terhadap rancangan Perda kabupaten/kota.
Selanjutnya, pengawasan preventif oleh Pemerintah baik Mendagri untuk tingkat provinsi maupun Gubernur untuk tingkat kabupaten/kota, tidak hanya terbatas pada Rancangan Perda APBD beserta penjabarannya. Pengawasan preventif juga berlaku pada proses penetapan Rancangan Perda yang berkaitan dengan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Tata Ruang Daerah. Sebagaimana yang dimaksud Pasal 189 UU No.32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Proses penetapan Rancangan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi perda, berlaku Pasal 185 dan Pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak daerah dan retribusi daerah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan dengan Menteri yang membidangi urusan tata ruang. Dengan berlakunya Pasal 189 tersebut, maka ketentuan Pasal 5A dan Pasal 25A UU Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, menjadi tidak berlak.

Selama ini pada prakteknya, kabanyakan Peraturan Daerah yang telah di uji oleh Pemerintah c.q. Departemen Dalam Negeri, ketetapan pembatalannya dilakukan dengan instrumen Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri). Dengan mengacu pada instrumen hukum tentang pengujian dan pembatalan suatu Perda yang dilakukan oleh pemerintah (executive review), maka Pasal 145 Ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan tegas menyatakan bahwa keputusan pembatalan Perda di tetapkan dengan Peraturan Presiden. Jika mengacu pada instrument hukum tersebut, maka sebenarnya tidak ada kewenangan atributif Mendagri mengeluarkan suatu keputusan untuk menetapkan pembatalan perda, melainkan secara tegas yang berwenang membatalkan suatu perda ialah Presiden dengan Peraturan Presidennya. Jika Presiden mendelegasikan kewenangannya kepada Mendagri untuk membatalkan suatu Perda, maka Presiden sebenarnya telah menyalahi kewenangan atributifnya yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 145 Ayat (3) UU a quo. Adapun kewenangan Mendagri mengeluarkan keputusan pembatalan suatu Perda, dikarenakan Pemeritah Daerah tidak menindak lanjuti hasil evaluasi dari Pemerintah dalam rangka pengawasan preventif dan tetap memberlakukan Perda dimaksud, sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 185 Ayat (5) UU Pemerintahan Daerah. Disinilah sebenarnya letak kewenangan atributif Mendagri dalam melakukan pembatalan suatu Perda dan pengujian Rancangan Perda (executive preview) atau biasa juga di sebut pengawasan preventif. Namun, kewenangan Mendagri tersebut dalam hal pengawasan preventif secara langsung hanya terbatas pada tingkatan provinsi semata, dan selanjutnya pada tingkatan kabupaten/kota, pengawasan preventif Mendagri bersifat tidak langsung, karena yang menjalankan secara langsung adalah Gubernur.




Punya Kewenangankah MA menguji PERDA?

Posted by baharcool89 | Posted on 06.36

0

Pendahuluan
Dalam peraturan perundang-undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya. Perdebatan mengenai berlakunya executive review dan judicial review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri di era otoda ini mengingat Perda adalah produk kepala daerah dan DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom.   Pengujian terhadap Perda tidak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Menurut pakar ilmu perundang-undangan tersebut, hal itu terkait ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, di mana kewenangan pengujian dan pembatalan Perda hanya ada pada Presiden apabila Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Artinya, yang berwenang membatalkan Perda berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 itu ialah Presiden/Pemerintah melalui Peraturan Presiden.   Kondisi demikian berarti sebagai pengecualian dari ketentuan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 2004 (sebagaimana telah di ubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2009) dimana seharusnya MA berwenang melakukan uji materiil terhadap segala peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Sebetulnya menurut Pasal 24A UUD 1945, semua peraturan di bawah UU diujinya oleh MA, tapi UU Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan kalau Perda bertentangan dengan yang lebih tinggi, dibatalkan oleh Presiden. 

Rumsan Masalah 
MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya, tapi tidak termasuk perda. 
  1. Apakah Mahkamah Agung mempunyai kewenangan untuk menguji peraturan daerah dan bagaimana proses pengujiannya? 
Kewenangan Mahkamah Agung dalam Pengujian Peraturan Daerah (Judicial Review)
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang (Judicial review) yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana kewenangan atributifnya diatur dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 juncto pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, pasal 11 UU Nomor 4 Tahun 2004, pasal 31 UU Nomor 5 Tahun 2004, pasal 31A UU Nomor 3 Tahun 2009, dan pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004. Dalam ketentuan aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang melakukan Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2004, ditemukan bahwa Peraturan Daerah adalah juga merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan menggunakan metode logika deduktif/silogisme, maka yang menjadi premis mayornya adalah semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat di uji materilkan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan premis minornya adalah peraturan daerah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan demikian, dapat di tarik sebuah konklusi/kesimpulan bahwa peraturan daerah dapat diujimaterilkan oleh Mahkamah Agung. Dengan kata lain, MA juga mempunyai kewenangan dalam melakukan pengujian dan pembatalan terhadap suatu perda.
Proses pengajuan permohonan uji materil terhadap suatu perda, maka pihak yang merasa dirugikan atas berlakunya perda tersebut dapat mengajukan permohonan dengan menempuh dua cara, yaitu langsung kepada Mahkamah Agung, atau melalui Pengadilan Negeri (Pasal 2 Ayat (1) PERMA No.1 Tahun 2004). Sebenarnya hal ini menimbulkan permasalahan yang patut untuk di kaji. Jika merujuk pada Pasal 31 Ayat (3) UU No.5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang pada intinya menjelaskan bahwa putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dapat diambil baik berhubungan pada pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung, maka akan terlihat pertentangan antara PERMA a quo dengan Undang-Undang a quo. Untuk lebih jelasnya, Pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2004 menjelaskan bahwa :
  1. Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri, didaftarkan kepada kepaniteraan pengadilan negeri dan dibukukan kedalam buku register permohonan tersendiri dengan menggunakan kode : …….P/HUM/Th…./PN……. Setelah permohonan atau kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima; 
  2. panitera pengadilan negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang telah didaftarkan oleh pemohon atau kuasanya yang sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon atau kuasanya yang sah; 
  3. panitera pengadilan negeri mengirimkan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung pada hari berikut pada hari pendaftaran; 
  4. ……..dst. 
Dari penjelasan pasal tersebut, terlihat jelas perbedaan makna dari pada Pasal 31 Ayat (3) UU No.5 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa putusan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, dilakukan baik yang berhubungan pada tingkat kasasi maupun yang berhubungan pada permohonan langsung kepada Mahkamah Agung. Artinya, permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bisa juga dimohonkan kepada pengadilan negeri untuk selanjutnya dilanjutkan pada tingkatan kasasi. Kejanggalannya ialah tidak adanya aturan yang menegaskan tentang kewenangan Pengadilan Negeri untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Jika berbicara sidang tingkat kasasi, maka sudah tentu telah ada putusan Pengadilan sebelumnya yang akan ditindak lanjuti di lingkungan Mahkamah Agung. Suatu hal yang sangat bertentangan dengan apa yang termuat dalam Pasal 31 Ayat (3) UU No.5 / 2004. Mahkamah Agung mencoba menginterpretasikan makna dari pasal 31 ayat (3) tersebut melalui Pasal 4 PERMA No.1 / 2004. Namun jika diperhatikan, permohonan keberatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri pada pasal a quo, hanya menunjukkan perpanjangan tangan dari Mahkamah Agung. Artinya, setelah berkas permohonan dimasukkan ke Pengadilan Negeri, maka selanjutnya Pengadilan Negeri menyerahkan berkas keberatan tersebut ke Mahkamah Agung untuk di sidang. Jadi, Pengadilan Negeri tidak melakukan sidang pengujian terhadap keberatan yang di ajukan oleh pemohon terkait dengan pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang pada umumnya, dan Perda pada khususnya. Oleh karena itu, sangat membingungkan pengertian kasasi yang tertuang dalam pasal 31 ayat (3) UU a quo.
Selanjutnya, mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan pihak yang merasa dirugikan atas berlakunya suatu Perda, telah ditegaskan dalam pasal 31a ayat (3) huruf b UU Nomor 3 Tahun 2009, bahwa uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa :
  1. Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau 
  2. Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; 
Pada bagian pertama dikenal dengan istilah pengujian materil, sedangkan pada bagian kedua, dikenal dengan istilah pengujian formil. Dari sini, timbul lagi permasalahan, yaitu Pada bagian pertama yang apabila dikaitkan dengan pengujian perda, maka landasan bagi MA untuk menguji perda terhadap undang-undang, adalah materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian isi dari peraturan daerah. Selanjutnya, pada pasal 31 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2004 (yang masih tetap berlaku) menjelaskan bahwa
“Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.” 
Dari sini, Apabila suatu peraturan daerah dipandang bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian perda bertentangan dengan undang-undang, maka sesuai dengan ketentuan pasal 31 ayat (2) tersebut, Mahkamah Agung menyatakan bahwa perda tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sesuai dengan ketentuan ayat (4). Bagaimana jika dalam proses pengujiannya, MA hanya menemukan satu ayat, atau satu pasal, atau satu bagian dalam peraturan daerah tersebut yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jika demikian, maka mau tidak mau, keseluruhan dari peraturan daerah tersebut dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, seperti halnya jika dilakukan pengujian formil. Ketentuan tersebut bukan hanya berlaku saja pada pengujian perda, melainkan juga berlaku pada pengujian seluruh peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Apabila materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dipandang bertentangan dengan undang-undang, maka seluruh materi muatan perturan perundang-undangan dibawah undang-undang tersebut dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, walaupun pertentangannya hanya ditemukan pada satu ayat, atau satu pasal, atau satu bagian saja.  Hal yang perlu juga diperhatikan ialah, adanya batas waktu yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung perihal permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pembatasan waktu tersebut diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) PERMA No.1 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Artinya, apabila permohonan diajukan setelah melewati tenggang waktu tersebut, maka permohonan tersebut sudah tidak dapat lagi di terima. Hal ini sebenarnya telah membatasi bahkan menghilangkan hak masyarakat yang merasa dirugikan atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan (Perda) untuk mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung. Padahal, bisa saja ada pihak/masyarakat yang ingin mengajukan permohonan pengujian suatu Perda ke Mahkamah Agung, namun sudah melewati batas waktu yang sudah di tentukan (180 hari sejak di tetapkannya Perda tersebut).  Executive Review (pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat) terhadap suatu Peraturan Daerah, apabila secara murni mengacu pada ketentuan normatif hukum pada Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, bukanlah menjadi suatu permasalahan, dikarenakan Pemerintah Daerah merupakan bagian dari Pemerintah Pusat atau berada dibawah Pemerintah Pusat. Sehingga, Pemerintah Pusat juga mempunyai kewenangan untuk menguji dan membatalkan peraturan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah. Pengujian terhadap suatu Perda yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat adalah dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap Pemerintahan Daerah. Jika Pemerintah Daerah bersama-sama DPRD menetapkan suatu Perda, maka Pemerintah Daerah wajib menyerahkan Perda tersebut kepada Pemerintah Pusat untuk di evaluasi. Dan jika hasil evaluasi Pemerintah mendapatkan bukti bahwa Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah membatalkan Perda tersebut dan untuk selanjutnya diserahkan kembali ke Pemerintah Daerah bersangkutan agar bersama-sama DPRD mencabut Perda dimaksud. Selanjutnya, Jika Pemerintah Daerah tidak menyepakati pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah, maka Pemerintah Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 145 Ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004. Selanjutnya, pada ketentuan Ayat (6), apabila keberatan tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya, maka putusan Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Presiden yang membatalkan Perda bersangkutan menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan menggunakan metode interpretasi argumentum a contrario terhadap Pasal 145 Ayat (6) tersebut, maka ditemukan bahwa Peraturan Presiden yang membatalkan tentang suatu Perda dinyatakan tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum apabila Mahkamah Agung menolak keberatan dari Pemerintah Daerah. Artinya, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, Mahkamah Agung tidak membatalkan suatu Perda, melainkan yang membatalkan Perda adalah Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden. Yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung menurut ketentuan UU tersebut hanyalah Peraturan Presiden apabila permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah di kabulkan oleh MA. 

Kesimpulan 
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang (Judicial review) yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana kewenangan atributifnya diatur dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 juncto pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, pasal 11 UU Nomor 4 Tahun 2004, pasal 31 UU Nomor 5 Tahun 2004, pasal 31A UU Nomor 3 Tahun 2009, dan pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004. Dalam ketentuan aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang melakukan Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2004, ditemukan bahwa Peraturan Daerah adalah juga merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan menggunakan metode logika deduktif/silogisme, maka yang menjadi premis mayornya adalah semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat di uji materilkan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan premis minornya adalah peraturan daerah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan demikian, dapat di tarik sebuah konklusi/kesimpulan bahwa peraturan daerah dapat di uji materilkan oleh Mahkamah Agung. Dengan kata lain, MA juga mempunyai kewenangan dalam melakukan pengujian dan pembatalan terhadap suatu Perda.

Daftar Pustaka
Huda, Ni’matul.2005. Otonomi Daerah. Pustaka Pelajar: Yogyakarta   
http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=68003490816&topic=12307 
http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=68003490816&topic=12308

BEBERAPA CATATAN PERZINAAN DALAM KUHP

Posted by baharcool89 | Posted on 21.03

0

Pendahuluan

Perzinahan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana salah satu atau dua-duanya sudah menikah dengan orang lain. Persetubuhan tersebut dilakukan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.[1]
Persetubuhan di era globalisasi ini sudah sangat marak dilakukan, baik antara pemuda pemudi maupun antara orang yang telah berkeluarga. Fenomena ini menjadi sangat biasa karena masyarakat telah terbiasa dengan hal-hal semcam ini. Perzinaan dapat terjadi oleh banyak faktor, diantaranya terbukanya pergaulan yang sangat bebas antara lawan jenis, kurangnya pemahaman terhadap akibat perzinaan, kurangnya keyakinan yang kuat terhadap agama dan hukum yang mengatur tentang perzinaan.
Untuk faktor yang penulis terakhir sebutkan, menurut hemat penulis sangat menentukan praktek perzinaan yang dilakukan masyarakat dalam sebuah negara. Hukum yang tidak kuat akan turut memberi peluang terjadinya perzinaan di negeri ini. Asumsi ini mengingat bahwa panglima tertinggi yang ada di negeri ini adalah hukum (ius contitutum), bukan hukum islam, hukum adat atau hukum sekelompok orang.
Berkaitan dengan judul yang penulis angkat dalam tulisan ini, maka penulis hanya ingin menyoroti perihal perzinaan yang diatur dalam KUHP.
Perzinaan dalam KUHP
Dari kutipan pengertian tentang perzinaan diatas dapat ditarik sebuah anasila bahwa perzinaan dalam hukum positif (KUHP) dapat dikatakan terjadi jika hanya dilakukan oleh seorang laki-laki atau seorang istri yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan dengan orang lain. Pengertian diatas juga berarti jika persetubuhan (perzinaan) tersebut dilakukan oleh seorang lak-laki dengan seorang perempuan yang keduanya belum terikat dengan perkawinan maka tidak dapat dikatakan sebagai sebuah perzinaan.
Spirit yang ada dalam aturan tersebut sepertinya karena ingin melindungi hak asasi manusia. Namun jauh kedepan sesungguhnya aturan tersebut belum dapat melindungi eksistensi manusia sebagai makhluk yang mulia, mempunyai moralitas tinggi dan berperadaban baik. Asas kebebasan nampaknya mempengaruhi aturan yang ada di KUHP ini secara mutlak. Padahal kebebasan manusia seharusnya masih terbatas oleh keberadaan manusia itu sendiri sebagai makhluk yang mempunyai akal dan berpengetahuan. Aturan dibuat karena ingin melindungi hak asasi manusia, namun mengapa aturan tidak melindung eksistensi manusia yang notabennya sebagai makhluk yang berakal dan berpengetahuan?
Perzinaan dalam KUHP termasuk kedalam delik aduan. Apabila akibat berbuatan tersebut tidak merasa ada yang dirugikan, maka tidak dapat dipidana para pelaku perzinaan. Hukuman dalam hukum positif ternyata menganut asas kerugian. Artinya selama perbuatan tersebut tidak merugikan orang lain maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Terkecuali perzinaan yang dilakukan seorang laki-laki dengan serorang perempuan yang salah satu atau keduanya telah terikat perkawinan, perbuatan tersebut diketahui oleh orang yang mempunyai ikatan perkawinan dengannya dan dipalorkan kepada pihak yang berwajib.
As a tool as social engeenering of law dalam hal permasalahan perzinaan ini ternyata tidak dapat terwujud. Rekayasa yang dapat diback up oleh aturan perzinaan saat ini hanyalah masalah hak asasi manusia saja, namun belum dapat melindungi wibawa dan kehormatan manusia sebagai makhluk fi ahsani taqwiim, sempurna dalam arti bentuk, sempurna dalam arti akhlak, sempurna dalam arti kemuliaan dan sempurna dalam arti tindakan yang dilakukan.
Hukuman setimpal dengan perbuatan
Salah satu ajaran teori pemidanaan adalah teori pembalasan. Immanuel kant mengemukakan teorinya bahwa “kejahatan itu menimbulkan ketidakadilan, maka harus dibalas dengan ketidakadilan pula”. Perbuatan perzinaan pada dalam KUHP dinyatakan sebagai sebuah kejahatan, namun kejahatan ini masih bersifat delik aduan. Akibatnya hukuman yang diancamkan terhadap tindak pidana perzinaan juga ringan.
Hakikat suatu hukum itu dibuat bertujuan tidak hanya sebagai social control, tetapi juga untuk mengurangi kejahatan seminimal dan seefektif mungkin menekan kejahatan tersebut dapat terulang kembali. Ancaman pidana terhadap berbagai tindak pidana akan mencapai tujuannya jika memenuhi criteria sebagai berikut :
a.    Menjerakan si pelaku.
b.    Dapat menjadi pelajaran bagi orang lain.
c.    Seimbang dengan perbuatan yang dilakukan.
d.    Bersifat umum, berlaku terhadap semua orang.[2]
Jika melihat ancaman yang terdapat dalam pasal 284 KUHP maka hukuman yang ada penulis merasa belum memenuhi criteria sebuah sanksi diatas. Hal ini terkait aturan yang ditetapkan juga tidak ketat dan bersifat setengah hati (tidak keseluruhan).
Kesimpulan
Hukum dalam KUHP telah mengatur perihal perzinaan sebagaimana yang telah tertera dalam pasal 284. Namun aturan tersebut hemat penulis masih dibuat dengan setengah hati (tidak sungguh) karena hanya bertujuan melindungi hak asasi manusia. Seharusnya aturan tersebut dibuat berdasarkan spirit kemanusiaan (eksistensi, penjagaan moral dan pelindungan sekaligus perlindungan atas hak asasi manusia).
Tindak pidana perzinaan termasuk kedalam delik aduan yang ada pada saat ini. Sehingga perbuatan tersebut dapat dijatuhi hukuman jika perbuatan tersebut dilaporkan kepada pihak yang berwajib.
Sanksi/hukuman yang diancamkan tidak memenuhi criteria sebuah sanksi itu dihatuhkan terhadap pelaku. Sehingga sanksi/hukuman dalam perzinaan ini tidak benar-benar efektif dalam meminimalir tindak pidana perzinaan.
Perlu kiranya diadakan pembaharuan dalam terkait aturan tentang perzinaan ini. tujuannya tidak lain untuk memelihara manusia khususnya para pemuda dan pemudi penerus bangsa ini agar tidak terus menerus terjerumus dalam hal-hal yang bersifat negatif. Pembaharuan yang penulis maksud diatas adalah dalam tiga hal, yaitu dari segi aturan, sifat tindak pidana perzinaan dan sanksi/hukuman yang diancamkan.


[1] “Konsultasi Hukum: Pelanggaran Pasal 284” dikutip dari http://dhita-myblog.blogspot.com/2008/07/konsultasi-hukum-pelanggaran-pasal-284.html/acgessed 17 Juli 2008.
[2] KH. Ahmad Azhar Basyir, MA, Ikhtisar Fikih Jinayat, Yogyakarta : UII Press, hal. 66.

Zakat Profesi Dapat Diqiyaskan Dengan Zakat Apa?

Posted by baharcool89 | Posted on 22.22

0

“Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khottob radiallahuanhuma dia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Islam dibangun diatas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan." (Riwayat Turmuzi dan Muslim)[1]
Zakat merupakan refleksi tekad untuk mensucikan masyarakat dari penyakit kemiskinan, harta benda orang kaya, dan pelanggaran terhadap ajaran-ajaran islam yang terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan pokok bagi setiap orang tanpa membedakan suku, ras, dan kelompok. Zakat merupakan komitmen seorang muslim dalam bidang sosio-ekonomi yang tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban pada kas negara semata, seperti yang dilakukan oleh sistem sosialisme dan negara kesejahteraan modern.
Pemberdayaan ekonomi Ummat Islam melalui pelaksanaan ibadah zakat masih banyak menemui hambatan yang bersumber terutama dari kalangan Ummat Islam itu sendiri. Kesadaran pelaksanaan zakat masih di kalangan Ummat Islam masih belum diikuti dengan tingkat pemahaman yang memadai tentang ibadah yang satu ini, khususnya jika diperbandingkan dengan ibadah wajib lainnya seperti sholat dan puasa. Kurangnya pemahaman tentang jenis harta yang wajib zakat dan mekanisme pembayaran yang dituntunkan oleh syari’ah islam menyebabkan pelaksanaan ibadah zakat menjadi sangat tergantung pada masing-masing individu. Hal tersebut pada gilirannya mempengaruhi perkembangan institusi zakat, yang seharusnya memegang peranan penting dalam pembudayaan ibadah zakat secara kolektif agar pelaksanaan ibadah harta ini menjadi lebih efektif dan efisien.
A.    Latar Belakang
Perkembangan zaman menimbulkan berbagai hal baru yang pada saat Rasulullah masih hidup hal tersebut tidak ada. Dalam hal perzakatan, saat ini bertambah satu pemasukan dari jenis zakat, yaitu zakat profesi.
Istilah Zakat Profesi belum dikenal di zaman Rosulullah SAW bahkan hingga masa berikutnya selama ratusan tahun. Bahkan kitab-kitab Fiqih yang menjadi rujukan umat saat ini pun tidak mencantumkan pembahasan bab zakat profesi didalamnya. Harus diingat bahwa meski di zaman Rosulullah SAW telah ada beragam profesi, namun kondisinya berbeda dengan zaman sekarang dari segi penghasilan.[2]
Zakat profesi baru dipermasalahkan pada saat ini, karena melihat penghasilan dari profesi memang cukup menjanjikan. penghasilan dari profesi dapat menjadikan seseorang kaya dan kelebihan harta seperti pada umumnya. Harta hasil profesi menjadi suatu polemik mengingat belum adanya hukum yang mengatur hal tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Zakat profesi baru dipermasalahkan pada saat ini, karena melihat penghasilan dari profesi memang cukup menjanjikan. penghasilan dari profesi dapat menjadikan seseorang kaya dan kelebihan harta seperti pada umumnya.
1.      Apakah harta hasil profesi wajib dikeluarkan zakatnya?
2.      Bagaimana menentukan nisab dan kadar zakatnya?
C.    Bahasan Singkat
Secara umum dan global al-qur’an menyatakan bahwa zakat itu diambil dari setiap harta yang kita miliki, seperti dikemukakan dalam surat at-Taubah: 103 dan juga diambil dari setiap hasil usaha yang baik dan halal, seperti juga digambarkan dalam surat al-Baqarah: 267.[3] Untuk melihat hal tersebut maka kita perlu menggunakan pendekatan.
Pertama, pendekatan ijmali ‘global’, yaitu segala macam harta yang dimiliki yang memenuhi persyaratan zakat, dan kedua, pendekatan tafsili ‘terurai’, yaitu menjelaskan berbagai jenis harta yang apabila telah memenuhi persyaratan zakat, wajib dikeluarkan zakatnya. Dengan pendekatan ijmali ini, semua jenis harta yang belum ada contoh konkritnya di zaman Rasulullah saw, tetapi karena perkembangan ekonomi, menjadi benda yang bernilai, maka harus dikeluarkan zakatnya.[4]
Yusuf al-Qordhawi menyatakan bahwa diantara hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian kaum muslimin saat ini adalah penghasilan atau pendapatannya yang diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang dikeluarkan secara pribadi maupun secara bersama.[5]
Tidak dapat dipungkiri bahwa bentuk  penghasilan  yang  paling  menyolok  pada zaman  sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesinya.
 Pekerjaan yang menghasilkan  uang  ada  dua  macam. Pertama adalah  pekerjaan  yang  dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat  kecekatan  tangan  ataupun  otak. Penghasilan   yang   diperoleh  dengan  cara  ini  merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor, insinyur,   advokat   seniman,  penjahit,  tukang  kayu  dan lain-lainnya.
 Kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang  untuk pihak  lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun  kedua-  duanya.  Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.[6]
Landasan kewajiban zakat atas harta hasil profesi diantaranya termaktub dalam al-Qur’an surat adz-Zariyat : 19,
Artinya : “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”.[7]
Dari ayat diatas jelaslah bahwa segala macam harta tanpa membeda-bedakan jenis harta yang dimiliki oleh seorang muzakki wajib dikeluarkan zakatnya. Zakat wajib dikeluarkan setelah mencapai haul dan nisabnya, sebagaimana yang telah ada ketentuannya dalam berbagai literatur.
D.    Analisis dan Komentar Penulis
Merujuk atas kedua pendekatan (pendekatan ijmali dan pendekatan tafsili) tersebut maka harta hasil profesi wajib dikeluarkan zakatnya. Al-Qurthubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata-kata hakkun ma’lum (hak yang pasti) pada surat adz-Zariyat ayat 19 adalah zakat yang diwajibkan. Artinya semua harta yang dimiliki dan semua penghasilan yang didapatkan, jika telah memenuhi persyaratan kewajiban zakat, maka harus dikeluarkan zakatnya.
Sementara itu, para peserta Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di Kuwait telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nishab, meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya. Sementara itu dalam undang-undang tentang pengelolaan zakat nomor 38 tahun 1999 Pasal 11 disebutkan bahwa harta yang dikenai zakat adalah : a. emas, perak dan uang; b. perdagangan dan perusahaan; c. Hasil pertanian, perkebunan dan perikanan; d. Hasil pertambangan; e. Hasil peternakan; f. Hasil pendapatan dan jasa; g. Rikaz.[8]
DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc dalam bukunya berpendapat bahwa setiap keahlian dan pekerjaan apapun yang halal, baik yang dilakukan sendiri maupun yang terkait dengan pihak lain, seperti seorang pegawai atau karyawan, apabila penghasilan dan pendapatannya mencapai nishab wajib dikeluarkan zakatnya. Pendapat tersebut beliau ambil berdasarkan beberapa hal.
Pertama, ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum terkait dengan persoalan zakat mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan zakatnya.
Kedua, berbagai pendapat para ulama terdahulu maupun sekarang, meskipun dengan menggunakan istilah yang berbeda-beda, pada intinya mewajibkan zakat terhadap semua harta.
Ketiga, dari sudut keadilan, yang merupakan cirri utama ajaran islam, penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas, dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas-komoditas tertentu saja yang konvensional.
Keempat, sejalan dengan perkembangan kehidupan umat manusia, khususnya dalam bidang ekonomi, kegiatan penghasilan melalui keahlian dan profesi ini akan semakin berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan akan menjadi kegiatan ekonomi yang utama, seperti terjadi di Negara-negara industry saat ini.[9]
Sayyid Quthub ketika menafsirkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 267 mengatakan,  bahwa nash ini mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan yang halal serta mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT dari dalam dan atas bumi.
Dari beberapa pendapat para ulama diatas, penulis turut mendukung atas kewajiban zakat yang dibebankan kepada harta hasil profesi. Apapun bentuk penghasilan seseorang tentu tidak terlepas dari peran orang lain secara baik langsung maupun tidak secara langsung. Selain itu, terdapat pula hak orang lain (orang yang berhak menerima zakat) yang oleh Allah SWT sengaja dititipkan dalam suatu profesi.
Terkait nishab, waktu, kadar dan cara mengeluarkan zakat profesi ini terdapat kemungkinan beberapa penganalogian. Dalam hal ini penulis lebih condong kepada para ulama yang menganalogikan tijarah (perdagangan).
Dalam perdagangan nishabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5% dan waktu pengeluarannya setahun sekali setelah dikurangi kebutuhan pokok. Hal ini mengingat aturan dalam mengeluarkan zakat perdagangan juga seperti ini.[10]
Penghasilan dari profesi dalam setahun tentu sudah dapat diprediksi karena merupakan gaji atau upah tetap. Ketika gaji atau upah tetap selama satu tahun dihitung dan dikurangi kebutuhan pokok sehari-hari masih dapat untuk membeli emas seberat 85 gram, maka harta tersebut dikenakan zakat.
Cara pengeluaran zakat dapat dilakukan oleh muzakki sendiri dengan langsung memberikan kepada yang berhak setelah tercapai haulnya. Namun pada umumnya untuk instansi yang berlatarbelakang islam biasanya akan menerapkan pemotongan terhadap gaji bulanan para pegawainya atau sesuai kesepakatan kedua pihak. Hal ini dilakukan agar tidak terasa berat bagi para karyawan untuk mengeluarkan zakat ketika haul telah tercapai.
Penulis sendiri lebih sepakat dengan pemotongan langsung oleh pihak instansi yang bersangkutan. Hal ini lebih efektif dan efisien serta menghindari hal-hal tak terduga diluar perencanaan muzakki. Pengeluaran zakat profesi akan terasa lebih ringan dan mudah, karena sudah dicicil sejak awal.
E.     Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan dari pembahasan diatas dan dari rumusan yang ada sebagai berikut :
1.      Zakat hasil profesi menurut pandangan penulis wajib dikeluarkan zakatnya, yaitu setelah mencapai haul dan nisabnya.
2.      Penganalogian zakat profesi lebih sesuai kepada zakat tijarah (perdagangan), nisabnya 84 gram emas dan wajib dikeluarkan setelah satu tahun.

[1] http://www.anneahira.com/ibadah/rukun-islam.htm
[2] http://www.naqshbandibatam.org.
[3] DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc. Zakat Dalam Perekonomian Modern., hlm. 15.
[4] Ibid., hlm. 91.
[5] Yusuf al-Qordhawi. Fiqh Zakat., hlm. 487.
[6] Diktip dari http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Zakat/Profesi/01.html#Pandangan.
[7] Orang miskin yang tidak mendapat bagian Maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-minta.
[8] Undang-undang no. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
[9] Opcit,. Zakat Dalam Perekonomian Modern., hlm. 95-96.
[10] Ibid., hlm. 96.