BEBERAPA CATATAN PERZINAAN DALAM KUHP
Posted by baharcool89 | Posted on 21.03
Pendahuluan
Perzinahan adalah persetubuhan yang dilakukan
oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana salah satu atau
dua-duanya sudah menikah dengan orang lain. Persetubuhan tersebut dilakukan
suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.[1]
Persetubuhan di era globalisasi ini sudah
sangat marak dilakukan, baik antara pemuda pemudi maupun antara orang yang
telah berkeluarga. Fenomena ini menjadi sangat biasa karena masyarakat telah
terbiasa dengan hal-hal semcam ini. Perzinaan dapat terjadi oleh banyak faktor,
diantaranya terbukanya pergaulan yang sangat bebas antara lawan jenis,
kurangnya pemahaman terhadap akibat perzinaan, kurangnya keyakinan yang kuat
terhadap agama dan hukum yang mengatur tentang perzinaan.
Untuk faktor yang penulis terakhir
sebutkan, menurut hemat penulis sangat menentukan praktek perzinaan yang
dilakukan masyarakat dalam sebuah negara. Hukum yang tidak kuat akan turut
memberi peluang terjadinya perzinaan di negeri ini. Asumsi ini mengingat bahwa
panglima tertinggi yang ada di negeri ini adalah hukum (ius contitutum),
bukan hukum islam, hukum adat atau hukum sekelompok orang.
Berkaitan dengan judul yang penulis angkat
dalam tulisan ini, maka penulis hanya ingin menyoroti perihal perzinaan yang
diatur dalam KUHP.
Perzinaan dalam KUHP
Dari kutipan pengertian tentang perzinaan
diatas dapat ditarik sebuah anasila bahwa perzinaan dalam hukum positif (KUHP)
dapat dikatakan terjadi jika hanya dilakukan oleh seorang laki-laki atau
seorang istri yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan dengan orang
lain. Pengertian diatas juga berarti jika persetubuhan (perzinaan) tersebut
dilakukan oleh seorang lak-laki dengan seorang perempuan yang keduanya belum
terikat dengan perkawinan maka tidak dapat dikatakan sebagai sebuah perzinaan.
Spirit yang ada dalam aturan tersebut sepertinya
karena ingin melindungi hak asasi manusia. Namun jauh kedepan sesungguhnya
aturan tersebut belum dapat melindungi eksistensi manusia sebagai makhluk yang
mulia, mempunyai moralitas tinggi dan berperadaban baik. Asas kebebasan
nampaknya mempengaruhi aturan yang ada di KUHP ini secara mutlak. Padahal
kebebasan manusia seharusnya masih terbatas oleh keberadaan manusia itu sendiri
sebagai makhluk yang mempunyai akal dan berpengetahuan. Aturan dibuat karena
ingin melindungi hak asasi manusia, namun mengapa aturan tidak melindung
eksistensi manusia yang notabennya sebagai makhluk yang berakal dan
berpengetahuan?
Perzinaan dalam KUHP termasuk kedalam
delik aduan. Apabila akibat berbuatan tersebut tidak merasa ada yang dirugikan,
maka tidak dapat dipidana para pelaku perzinaan. Hukuman dalam hukum positif
ternyata menganut asas kerugian. Artinya selama perbuatan tersebut tidak
merugikan orang lain maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Terkecuali
perzinaan yang dilakukan seorang laki-laki dengan serorang perempuan yang salah
satu atau keduanya telah terikat perkawinan, perbuatan tersebut diketahui oleh
orang yang mempunyai ikatan perkawinan dengannya dan dipalorkan kepada pihak
yang berwajib.
As a tool as social engeenering of law dalam hal permasalahan perzinaan ini ternyata tidak dapat
terwujud. Rekayasa yang dapat diback up oleh aturan perzinaan saat ini hanyalah
masalah hak asasi manusia saja, namun belum dapat melindungi wibawa dan kehormatan
manusia sebagai makhluk fi ahsani taqwiim, sempurna dalam arti bentuk,
sempurna dalam arti akhlak, sempurna dalam arti kemuliaan dan sempurna dalam
arti tindakan yang dilakukan.
Hukuman setimpal dengan perbuatan
Salah satu ajaran teori pemidanaan adalah teori
pembalasan. Immanuel kant mengemukakan teorinya bahwa “kejahatan itu
menimbulkan ketidakadilan, maka harus dibalas dengan ketidakadilan pula”. Perbuatan
perzinaan pada dalam KUHP dinyatakan sebagai sebuah kejahatan, namun kejahatan
ini masih bersifat delik aduan. Akibatnya hukuman yang diancamkan terhadap
tindak pidana perzinaan juga ringan.
Hakikat suatu hukum itu dibuat bertujuan tidak
hanya sebagai social control, tetapi juga untuk mengurangi kejahatan seminimal
dan seefektif mungkin menekan kejahatan tersebut dapat terulang kembali. Ancaman
pidana terhadap berbagai tindak pidana akan mencapai tujuannya jika memenuhi
criteria sebagai berikut :
a.
Menjerakan si
pelaku.
b.
Dapat menjadi
pelajaran bagi orang lain.
c.
Seimbang dengan
perbuatan yang dilakukan.
d.
Bersifat umum,
berlaku terhadap semua orang.[2]
Jika melihat ancaman yang terdapat dalam pasal
284 KUHP maka hukuman yang ada penulis merasa belum memenuhi criteria sebuah
sanksi diatas. Hal ini terkait aturan yang ditetapkan juga tidak ketat dan
bersifat setengah hati (tidak keseluruhan).
Kesimpulan
Hukum dalam KUHP telah mengatur perihal
perzinaan sebagaimana yang telah tertera dalam pasal 284. Namun aturan tersebut
hemat penulis masih dibuat dengan setengah hati (tidak sungguh) karena hanya
bertujuan melindungi hak asasi manusia. Seharusnya aturan tersebut dibuat
berdasarkan spirit kemanusiaan (eksistensi, penjagaan moral dan pelindungan
sekaligus perlindungan atas hak asasi manusia).
Tindak pidana perzinaan termasuk kedalam delik
aduan yang ada pada saat ini. Sehingga perbuatan tersebut dapat dijatuhi
hukuman jika perbuatan tersebut dilaporkan kepada pihak yang berwajib.
Sanksi/hukuman yang diancamkan tidak memenuhi
criteria sebuah sanksi itu dihatuhkan terhadap pelaku. Sehingga sanksi/hukuman
dalam perzinaan ini tidak benar-benar efektif dalam meminimalir tindak pidana
perzinaan.
Perlu kiranya diadakan pembaharuan dalam
terkait aturan tentang perzinaan ini. tujuannya tidak lain untuk memelihara
manusia khususnya para pemuda dan pemudi penerus bangsa ini agar tidak terus
menerus terjerumus dalam hal-hal yang bersifat negatif. Pembaharuan yang
penulis maksud diatas adalah dalam tiga hal, yaitu dari segi aturan, sifat
tindak pidana perzinaan dan sanksi/hukuman yang diancamkan.
[1]
“Konsultasi Hukum: Pelanggaran Pasal 284” dikutip dari http://dhita-myblog.blogspot.com/2008/07/konsultasi-hukum-pelanggaran-pasal-284.html/acgessed
17 Juli 2008.
[2]
KH. Ahmad Azhar Basyir, MA, Ikhtisar Fikih Jinayat, Yogyakarta : UII Press,
hal. 66.
Comments (0)
Posting Komentar